BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Irigasi merupakan
upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam
dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan
manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat
yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan
dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian
irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah
kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan
model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Sebagaimana telah
diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir
Kuno.
Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas mata
kuliah Irigasi dan Keteknikan. Kami ingin melakukan penelitian tentang
pemanfaatan system perairan irigasi yang mulai kering karena musim
kemarau yang berkepanjangan.
Makalah tersebut kami tuangkan dalam makalah yang berjudul “Pemanfaatan Sistem Perairan Irigasi Dari Sungai Cimanuk”.
1.2. PERMASALAHAN DAN PEMBATASAN MASALAH
A. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan kami teliti yaitu:
Apakah
pemanfaatan perairan irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya
tarik bagi masyarakat setempat, ditinjau dari kekeringan karena musim
kemarau yang berkepanjangan?
B. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini kami membatasi masalah penting yang akan di teliti yaitu:
a. penelitian ini di lakukan di tempat system perairan irigasi di sekitar sungai cimanuk.
b. Objek penelitian adalah keadaan dan kondisi system perairan irigasi di cimanuk
c. Waktu pelaksanaan di lakukan satu bulan terakhir terhitung tanggal 14 November s/d
16 Desember 2008.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah:
Dorongan
untuk memberikan informasi dan data secara menyeluruh mengenai system
irigasi di cimanuk, serta tentang kondisi dan keadaan system irigasi
tersebut kepada pembaca. Sehingga pembaca dapat mengetahui dan mengenal
system irigasi.
Dan mudah-mudahan dengan adanya makalah ini di tangan
para pembaca,bias memberikan dorongan untuk memanfaatkan system
perairan irigasi dari sungai cimanuk.
Tujuan penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji potensi erosi, hasil sedimen, dan mengkaji penurunan
debit minimum yang terjadi disungai Cimanuk.
Pendekatan bidang
ekohidrologi sebagai pendekatan interdisipliner dalam memahami ekosistem
perairan dikenal sebagai sarana manajemen yang adaptif karena
didasarkan pada pengintegrasian dinamika perairan dan dinamika biota
dalam suatu kerangka kerja pada suatu daerah tangkapan. Indonesia
ditunjuk sebagai Pusat Ekohidrologi Regional Asia Pasific, hal itu
diharapkan dapat memacu perkembangan konsep ekohidrologi sebagai
pendekatan dalam penyelesaian masalah-masalah lingkungan. Dalam rangka
pendirian pusat tersebut dilakukan persiapan berupa prasarana dalam
bentuk penetapan waduk Saguling sebagai studi kasus permasalahan
ekohidrologis yang terjadi di daerah.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil
penelitian ini di harap kan dapat memberikan gambaran atau sumber
pemikiran yang terbaik untuk terus mengembangkan dan melestarikan system
perairan irigasi. Memiliki peranan penting bagi masyarakat
sekitar.selain itu penelitian ini di harapkan dapat membantu mengenal
lebih jauh tentang pemanfaatan system perairan irigasi.
1.5. METODE PENELITIAN
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
Metode
eksperimen atau melakukan survai yang benar-benar kuat.Yang selanjutnya
data tersebut di olah secara bersama-sama dengan data yang di kumpulkan
dengan cara mencari artikel-artikel tentang system perairan irigasi.
Sehingga diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Irigasi di Indonesia
2.1.1. Sejarah Irigasi
Secara
umum menjelaskan perkembangan mulai dari adanya usaha pembuatan irigasi
sangat sederhana, perkembangan irigasi di Mesir, Babilonia, India,dll
kemudian bagaimana perkembangan irigasi di Indonesia sampai saat
sekarang.
Di Bali, irigasi sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini
terbukti dengan adanya sedahan (petugas yang melakukan koordinasi atas
subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah wilayahnya).
Sedangkan pengertian subak adalah “ Suatu masyarakat hukum adat di Bali
yang bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh dan
berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat
usaha tani” (PP. 23 tahun 1982, tentang Irigasi).
Di Indonesia
irigasi tradisional telah berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini
dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang
ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk
dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan
dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan
ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang
dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
2.1.2. Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda
Sistem
irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam
Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk
persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam
mengeksplotasi tanah jajahannya.
Sistem irigasi yang dulu telah
mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air
belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air
dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam
sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana
para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk
sawahnya. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat.
Tennessee Valley
Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D.
Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang
pertama dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930
melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam
membangun kembali ekonomi Amerika Serikat.
Isu TVA adalah mengenai:
produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan
malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek
TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab
itu Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA
di AS tersebut.
Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu
dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau
yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957
oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar
12,9 milyar m3/thn.
2.2. Pengertian Irigasi
Irigasi merupakan
suatu ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh sampai
masa panen. Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran,
dibagikan kepada tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah
air tersebut terpakai, kemudian dibuang melalui saluran pembuang menuju
sungai kembali.
Irigasi dikehendaki dalam situasi: (a) bila jumlah
curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan tanaman; (b) bila jumlah
curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah hujan tidak bersamaan
dengan waktu yang dikehendaki tanaman.
2.2.1. Aspek irigasi
Menjelaskan
tentang: Aspek engineering dan Aspek agricultural. Aspek engineering
menyangkut: (1) Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan (2) membawa
air ke lading pertanian, (3) pemakaian air untuk persawahan, (4)
pengeringan air yang berlebihan, dan (5) pembangkit tenaga air.
Aspek
Agrikultural, menyangkut: (1) kedalaman pemberian air, (2) distribusi
air secara seragam dan berkala, (3) kapasitan dan aliran yang berbeda,
dan (4) reklamasi tanah tandus dan tanah alkaline.
2.2.2. Tujuan irigasi
Tujuan
utama irigasi adalah untuk: Membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu
tanah, kolmatase, membersihkan air kotor, meninggikan air tanah,
pemeliharaan ikan
Pengaruh dan syarat-syarat air guna irigasi.
Menjelaskan
pengaruh air yang ada pada suatu daerah irigasi, dan bagaimana
syarat-syarat air yang diperlukan untuk suatu daerah irigasi, seperti :
air yang berasal dari dalam tanah; air berasal dari sungai, air berasal
dari waduk, dananu, dan rawa;
(1) Syarat air terhadap maksud irigasi,
(2) syarat-syarat air terhadap tanaman, (3) pengaruh air irigasi
terhadap tanah, (4) pengaruh Lumpur terhadap tanaman
2.2.3. Jenis Irigasi
1. Irigasi Permukaan
Irigasi
Permukaan terjadi di mana air dialirkan pada permukaan lahan. Di sini
dikenal alur primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan
dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan
mendapat air lebih dulu.
2. Irigasi Lokal
Sistem ini air
distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di
mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang
disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.
3. Irigasi dengan Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle.
Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air
dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.
4. Irigasi Tradisional dengan Ember
Di
sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di
samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.
5. Irigasi Pompa Air
Air
diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia
dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada
musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.
2.3. Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi Khusus
2.3.1. Irigasi Pasang-Surut di Sungai Cimanuk
Dengan
memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Garut, dikenal apa yang
dinamakan Irigasi Pasang-Surat (Tidal Irrigation). Teknologi yang
diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah
dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di
mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu
diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal
sejak Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Garut memanfaatkan rawa
sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang
ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman
Jepang di Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana
dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.
2.3.2. Irigasi Tanah Kering atau Irigasi Tetes
Di
lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien.
Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan
tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang
tersedia.
Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:
1. Irigasi tetes (drip irrigation),
2. Irigasi curah (sprinkler irrigation),
3. Irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation),
4. Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation)
Untuk
penggunaan air yang efisien, irigasi tetes. [3] merupakan salah satu
alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.
Ketersediaan
sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi
sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan
(groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini
dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber
air untuk mengembangkan irigasi suplemen.
Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.
2.4. Pengelolaan Air Sangat Buruk
Musim
hujan terendam air, musim kemarau kering kerontang. Demikian nasib 125
juta penduduk Pulau Jawa. Setelah hampir empat ratus ribu hektar sawah
terendam musim banjir lalu, kali ini giliran kekeringan yang melanda.
Untuk areal sawah saja, 204.322 hektar sudah kering akhir Juli lalu.
Bahkan, 19.562 di antaranya mengalami puso. "Ini karena kita tidak
memiliki manajemen air secara terpadu," kata Dirjen Sumber Daya Air
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief.
Tidak
padunya penanganan air harus berhadapan dengan antrean masalah. Sejumlah
masalah merupakan faktor alam maupun iklim global. Seperti
karakteristik wilayah tropik di mana 80 persen dari total aliran
permukaan tersedia pada musim hujan yang berdurasi lima bulan. Sementara
pada musim kemarau yang berlangsung tujuh bulan, hanya menyediakan 20
persen air untuk aliran permukaan. Belum lagi efek global La Nina dan El
Nino yang datang bergantian.
Faktor alam lalu berkawan dengan
kerusakan hutan yang merusakkan kemampuan tanah meresap air, terutama di
daerah aliran sungai (DAS). Hal ini ditambah rusaknya prasarana irigasi
seperti waduk dan saluran yang sedianya dibuat untuk "mengakali" alam.
Semua hal itu lalu berkolaborasi membentuk suatu manajemen air yang
buruk. Padahal, prinsip manajemen air sebenarnya tidak muluk-muluk:
bagaimana caranya mengendalikan kedatangan air yang tidak merata itu.
Neraca
air di Jawa-Bali selama tahun 2003, kebutuhan mencapai 38,4 miliar
kubik, sementara yang tersedia hanya 25,3 miliar meter kubik. Perkiraan
Badan Meteorologi Geofisika tentang kondisi musim kemarau di tahun 2003,
tingkat kerawanan kekeringan terjadi di 12 kabupaten di Jawa Barat,
yaitu Indramayu, Tasikmalaya, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Sumedang,
Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Serang, dan Pandeglang. Sementara di
Jawa Tengah enam kabupaten, yaitu Pati, Sragen, Boyolali, Wonogiri,
Cilacap, dan Rembang. Di Jawa Timur ada dua kabupaten, yaitu Lamongan
dan Tulungagung.
Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nabiel Makarim mengungkapkan, krisis air bersih terparah terjadi di DKI
Jakarta, sedangkan Jawa Barat mulai krisis air untuk tanaman. Kondisi di
Jateng belum begitu parah. "Wonogiri akan menjadi tolok ukur kekeringan
di wilayah itu," kata Menteri.
Di Jawa Tengah, dua kabupaten/kota
rawan kekeringan, pertanian rusak, dan poso. Jumlah kerugian sampai
minggu lalu 30.000 KK kesulitan airkarena keringnya embung. Di Jatim,
beberapa daerah sudah dianggap rawan, seperti Mojokerto, Sidoarjo,
Surabaya dan Pasuruan. "Masalah ini harus dilihat secara luas, tidak
bisa kekeringan sendiri atau banjir sendiri," timpal Roestam.
Air
yang jatuh ke permukaan tanah dan potensial menimbulkan banjir
diupayakan agar meresap ke dalam tanah. Untuk itu, permukaan DAS harus
maksimal menyerap air. Air hujan yang secara optimal meresap ke dalam
tanah itu nantinya akan mengisi sumber- sumber air yang ada di danau,
situ, sungai, dan waduk. Tujuannya, pada musim kemarau, saat hujan
hampir tidak ada, debit airnya bisa tetap terjaga. "Masalah banjir
diatasi dengan cara itu. Dengan demikian, akan mengatasi masalah
kekeringan juga," tambah Roestam.
Konsep di atas kertas atau di
kepala lebih sering berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan.
Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat
kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang
mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off
coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan
yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Menurut
Roestam, untuk daerah DAS berhutan, run off coefficient mencapai
0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai hanya 10 mm.
Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coef bisa sampai 1.
Ujung-ujungnya
memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang
kalau dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang.
Masalahnya, rencana tata ruang lebih banyak yang tidak komprehensif.
Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan hanya melihat uang
sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan
konservasi untuk air sama sekali tidak terlintas di pikiran.
Kondisi
yang ada saat ini, menurut Roestam, dari 30 persen kawasan DAS yang
idealnya tersedia, hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan
catatan Kompas berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan
yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup hutan
tinggal empat persen.
Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah
disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang tidak kunjung
diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada
musim kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan
sehingga terjadi kekeringan.
Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun
1984 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 buah. Tahun 1992
meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS
kritis di Indonesia, 26 ada di Jawa. Kemiskinan yang melatarbelakangi
tindakan masyarakat, menurut Roestam, merupakan penyebab utama. Di Jawa
dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat, masyarakat cari kehidupan
dengan membuka lahan baru mendekati hulu. Akibat perambahan dan
oknum-oknum yang terus merajalela, hutan Jawa menjadi gundul.
Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan, dengan majunya musim
kekeringan tahun ini, selain kekurangan air untuk pengairan di
lahan-lahan pertanian, juga terjadi penderitaan warga akan krisis air
bersih. Sebagai contoh, warga Jakarta dan sekitarnya menghadapi
kekurangan pasokan air. Dulu terdapat sekitar 49 situ atau danau kecil
antara Bogor dan Jakarta. Sekarang, banyak situ diuruk dijadikan rumah
dan pusat-pusat perbelanjaan. Padahal, situ itu untuk menahan air.
Untuk
lahan- lahan pertanian yang mengalami kekeringan, Roestam mengatakan,
sebenarnya pemerintah telah mengantisipasi hal tersebut. Caranya,
pemerintah membuat rencana pola tanam yang di kabupaten ditangani oleh
Komisi Irigasi. Komisi ini terdiri atas Dinas Pengairan, Bapedda, P3A,
dan BMG, Dinas Pertanian, dan tentu saja wakil petani. BMG memberikan
informasi prediksi jumlah curah hujan dan air yang tersedia. Selanjutnya
rencana tanam disesuaikan dengan prediksi yang ada. Misalnya, dengan
jumlah curah hujan yang hampir pasti kurang, tidak seluruh areal
ditanami padi, sebagian saja. "Sebagian ditanami palawija, sebagian padi
sehingga cukup airnya," katanya.
Namun, pada prakteknya petani
sering kali melakukan spekulasi dengan menanam padi dengan harapan akan
ada hujan di musim kemarau sesuai dengan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Akibatnya, kebutuhan meningkat sehingga air pasti tidak
cukup.
Data di Departemen Kimpraswil, dampak kekeringan bagi Pulau
Jawa mencapai 11,6 persen dari luas sasaran masa tanam (MT) II 1,8 juta
hektar, yaitu 209.332 hektar. Kekeringan terbesar terjadi di Jawa Barat
yaitu 141.793 hektar sawah yang merupakan 22,5 persen dari sasaran MT
II, 11.590 hektar diantaranya mengalami puso. Kekeringan sawah di Jawa
Tengah juga cukup besar, yaitu 47.823 hektar atau 20,3 persen dari total
MT. Di Jawa Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1 persen dari total sasaran
MT II atau seluas 14.706 hektar. Sementara di Banten kekeringan di
Kabupaten Pandeglang mencapai 5.000 hektar, sedangkan di DI Yogyakarta
tidak ada yang mengalami kekeringan.
Curah hujan yang tidak merata
sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak rencananya hendak dikendalikan
dengan prasarana irigasi. Namun, apa daya, kondisi prasarana irigasi
yang dibangun pemerintah serta waduk dan saluran irigasi pun banyak yang
rusak parah. Dari total jaringan irigasi di Pulau Jawa seluas 3,28 juta
hektar, 379,761 ribu hektar rusak.
Namun, sistem irigasi yang tidak
baik seperti misalnya saluran irigasi penuh lumpur. Jadi, datang dari
hulu cukup, namun di hilir menjadi sangat berkurang karena tertahan oleh
lumpur. Dengan demikian, petani merasa air yang diperolehnya tidak
cukup atau tidak ada sama sekali.
Masalahnya, hal ini sangat
tergantung kemampuan memelihara prasarana pengairan yang dalam hal ini
berarti juga biaya pemeliharaan. Sekitar 40-50 persen ditanggung oleh
pemerintah. Untuk daerah diberikan di antaranya dana alokasi khusus
(DAK) untuk spesifik pemeliharaan prasarana irigasi. Evaluasi atas
pemeliharaan saluran irigasi bisa menjadi rapor bagi daerah.
Selain
biaya investasi, operasional, dibutuhkan biaya konservasi sumber air,
sesuatu yang menjadi sasaran pemerintah dalam RUU Sumber Daya Air.
Masyarakat memandang ini sebagai privatisasi air, nanti semua untuk
dapat air harus bayar. Sementara pemerintah, menurut Roestam,
beranggapan, masyarakat akan mendapat air sesuai dengan kemampuannya.
Semakin tinggi seseorang berani membayar, semakin tinggi kualitas air
yang diperolehnya.
Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu,
pemerintah berjanji akan menyediakan berbagai fasilitas seperti tangki-
tangki air di mana hal ini berupa subsidi. "Itu yang sekarang sedang
dibahas di RUU Sumber Daya Air," kata Roestam. Pemerintah selalu
menyatakan tidak memiliki uang, bahkan untuk pemeliharaan prasarana dan
konservasi. Janjinya dana dari pembayaran air bersih orang-orang yang
mampu akan digunakan untuk prasarana dan konservasi.
Menurut Roestam,
rehabilitasi DAS kritis, per hektar dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta.
Luas lahan kritis di Indonesia mencapai 3 juta hektar, sebagian besar
ada di Jawa, yang menurut catatan Kompas berjumlah 2,481 juta hektar.
Dihitung-hitung dibutuhkan Rp 12,405 triliun untuk rehabilitasi DAS.
2.5. Bencana Itu Makin Lama Tambah Parah
Tanda
bahaya itu sebenarnya sudah dibunyikan sejak awal tahun 2008 yaitu
musim kering datang lebih cepat dari perkiraan. Sekitar pertengahan Mei
lalu, hujan mulai enggan turun di daerah pantai utara (pantura), yaitu
Kabupaten Cirebon dan Indramayu, yang menjadi kawasan lumbung padi Jawa
Barat.
Berbagai peringatan dini sudah diberikan sejak awal oleh Dinas
Pertanian setempat melalui media massa. Pertama adalah peringatan
kepada para petani berupa imbauan untuk mempercepat awal tanam atau
tidak menanam padi pada musim gadu tahun ini.
Peringatan kedua
ditujukan kepada pihak pemerintah, mulai dari pemerintah kabupaten,
pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat, dalam bentuk permintaan
bantuan pompa air dan bibit kacang hijau sebagai tanaman pengganti.
Semuanya dimaksudkan untuk menghindari terulangnya bencana kekeringan
yang melanda daerah ini tahun lalu.
Namun, entah mengapa dan
bagaimana, berbagai peringatan dini itu seolah-olah dibiarkan berlalu
begitu saja. Para petani tetap menanam padi dengan pola seperti biasa,
sedangkan bantuan pompa maupun bibit tanaman pengganti dari pemerintah
tidak segera turun, mungkin dengan anggapan bahwa titik bencana itu
masih jauh di mata sehingga tidak perlu buru-buru menurunkan bantuan.
Sampai
akhirnya, tanda-tanda kekeringan itu mulai tampak nyata ketika memasuki
Juni lalu. Tanggal 4 Juni, tanah sawah di Desa Wanakaya, Kecamatan
Cirebon Utara, sudah terlihat retak-retak karena tidak terairi sama
sekali selama lebih dari seminggu. Tanaman padi yang baru berusia 1-7
minggu dalam keadaan terancam.
Bencana mulai terjadi. Kekeringan
terus meluas di daerah-daerah sentra produksi padi. Para petani, meski
agak terlambat, mulai menanam tanaman pengganti padi, seperti kacang
hijau, kacang panjang, semangka, dan mentimun suri. Sementara para
petani yang sudah telanjur menanam padi mendesak agar bantuan pompa air
segera diberikan, mumpung masih ada air di saluran-saluran irigasi.
Akan
tetapi, seperti hal-hal lain yang ditangani pemerintah, segalanya
terasa lamban dan penuh hambatan birokrasi, termasuk janji-janji
pemberian bantuan. Menurut Sathori, Pemkab Cirebon sebenarnya sudah
menyiapkan dana bantuan sebesar Rp 400 juta untuk pengadaan pompa air
dan Rp 100 juta untuk benih kacang hijau.
Namun, dikhawatirkan,
bantuan tersebut tidak akan sampai tepat pada waktunya karena proses
birokrasi yang terlalu lama. "Saat ini, bantuan pompa itu sedang
diusulkan masuk dalam rapat perubahan anggaran APBD dengan DPRD. Paling
cepat baru satu bulan lagi dana bantuannya akan cair untuk membeli
pompa. Dan saat itu semua dikhawatirkan sudah terlambat," kata Sathori
awal Juni lalu.
Demikian juga bantuan dari Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Jabar dan pemerintah pusat yang tidak kunjung tiba. Pada
akhirnya, perubahan alam yang begitu cepat dan ganas tidak dapat
ditanggulangi oleh manusia yang serba tidak serius dan cenderung
meremehkan kekuatan alam. Dan pada kenyataannya, berbagai bantuan itu
memang akhirnya turun sangat lambat, yaitu sekitar akhir Juli dan awal
Agustus, saat semuanya sudah terlambat.
Dalam waktu satu setengah
bulan, musim kemarau yang semula dianggap sebagai fenomena alam yang
wajar dan tidak membahayakan telah berubah menjadi bencana yang nyata.
Kekeringan tidak saja terjadi dan mengancam sektor pertanian, tetapi
juga telah meluas dan mulai mengancam bidang- bidang lainnya setelah
sumber- sumber air bersih untuk keperluan minum, memasak, serta mandi,
cuci, dan kakus (MCK) ikut mengering.
2.6. Krisis Air di Pulau Jawa
Dalam
"Diskusi Teknik Kehutanan" akhir tahun lalu di Jakarta, Badan Planologi
Departemen Kehutanan mengeluarkan data luas hutan Pulau Jawa yang cukup
mengerikan. Luas kawasan yang masih berhutan atau lahan yang masih
ditutup pepohonan di Jawa tahun 1999/2000 hanya empat persen. Kawasan
itu sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran
sungai (DAS). Data ini memang bersifat indikatif, tetapi diambil dari
interpretasi citra satelit.
Apabila melihat distribusi hujan yang
tidak merata sepanjang tahun di Jawa, di mana 80 persen hujan jatuh di
musim penghujan dan sisanya 20 di musim kemarau-dengan kondisi DAS yang
sudah tidak mampu lagi menahan dan menyimpan air-dipastikan potensi yang
80 persen itu akan terbuang percuma ke laut tanpa sempat dimanfaatkan.
Malah hujan tersebut kerap kali menyebabkan terjadinya banjir yang
dirasakan semakin intensif dan signifikan, sementara kebutuhan air di
musim kemarau tidak lagi dapat dipenuhi.
Kondisi hutan selalu
dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor. Karena itu, luas
hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem-seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan-minimal
harus 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu dimaksudkan untuk
menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan. Malah Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menargetkan luas kawasan hutan di
wilayahnya minimal harus 45 persen dari luas wilayah.
ni mengingat
topografi wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung-gunung harus
dipertahankan hutannya untuk menopang ketersediaan air, baik bagi
pertanian, air minum masyarakat, maupun pembangkit tenaga listrik di
Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Pembangkit listrik tenaga air
(PLTA) yang digerakkan turbin air di ketiga waduk itu merupakan pemasok
listrik pada interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga waduk ini menampung air dari
Sungai Citarum yang kawasan DAS-nya sudah rusak parah.
Sementara
itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan
hutan Jawa yang seluas 3.289.131 hektar saat ini keadaannya benar-benar
menyedihkan. Sebagai gambaran umum, luas lahan kritis di dalam kawasan
hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi tercatat 1,714 juta hektar
atau mencapai 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Itu terdiri
atas hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 hektar
serta hutan produksi tak berpohonan seluas 1.147.116 hektar.
Kondisi
tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan
yang telah mencapai 9,016 juta hektar sehingga total lahan yang perlu
direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16 persen dari luas
seluruh daratan Pulau Jawa.
Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh
persen dari seluruh luas daratan Indonesia disesaki oleh 65 persen
penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Sementara dari sudut
potensi air hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia
sehingga menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).
"Melihat kondisi Jawa seperti ini, dipandang dari segi pengembangan
sumber daya air, sudah termasuk kategori kritis," ungkap Direktur
Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah Roestam Sjarief.
Menurut Badan Lingkungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat dua
sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa
tetap, bahkan cenderung menurun, terutama apabila ditinjau dari segi
kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air akan meningkat
lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang
ada sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut.
Dengan cepatnya
perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan pantai utara Jawa,
kebutuhan air meningkat tajam. Namun, perkembangan itu tidak sebanding
lagi dengan peningkatan upaya penyediaannya atau bahkan melebihi potensi
sumber daya air yang ada. Ini menyebabkan terjadinya defisit air.
Terbatasnya tempat- tempat penampungan air serta semakin parahnya
kondisi lingkungan dan DAS, menyebabkan terakumulasinya kompleksitas
permasalahan yang dihadapi.
Melihat fakta ini, dikhawatirkan
pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan semakin jauh
dari jangkauan. Karena itu, perlu dipikirkan dan dicermati bersama
upaya-upaya pengembangan sumber daya air yang lebih efektif dan mampu
menjawab tantangan di atas. Ini mengingat tekanan akibat pertumbuhan
penduduk menyebabkan kecenderungan terjadinya perubahan kondisi daerah
hulu sungai serta kerusakan hutan penutup catchment area, yang
sebetulnya perlu dijaga guna menjamin tersedianya dan terjamin meratanya
keberadaan air sepanjang tahun.
DIRJEN SDA menjelaskan, upaya
pengembangan wilayah sungai dalam rangka mengembangkan dan
mendayagunakan sumber daya air sekaligus pengelolaan dan konservasi
sumber daya air telah dikembangkan di berbagai wilayah sungai di Jawa.
Baik yang bersifat single basin maupun multiriver basin, yang semuanya
diarahkan agar dapat mengatasi permasalahan air yang ada. Contohnya
pengembangan wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane,
Cimanuk-Cisanggarung, Citanduy-Ciwulan, Serayu-Bogowonto, Jratunseluna,
dan pengembangan wilayah Sungai Brantas.
Masalahnya, hanya sebagian
atau kurang dari 15 persen prasarana pengairan yang mampu menjamin
tersedianya air hampir sepanjang tahun, melalui waduk dan reservoir yang
ada. Selebihnya seperti bangunan- bangunan bendung pengambilan air
bersifat run off river yang mengandalkan sepenuhnya pada fluktuasi air
di sungai apabila terjadi kekeringan bangunan ini tidak mampu
mengatasinya.
Merunut permasalahan yang dihadapi di Pulau Jawa serta
melihat tingkat kekritisan potensi sumber daya air dan penggunaannya,
konsep bagaimana menampung air pada saat kelebihan di musim hujan serta
mengatur dan memanfaatkan air saat kemarau menjadi sangat relevan.
2.7. Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia
Indonesia
membutuhkan reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air
(SDA). Ada sejumlah alasan mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan.
Pertama, sektor air di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan
dan berbagai tuntutan sebagai konsekuensi akibat meningkatnya populasi.
Kebutuhan
air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat,
tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi
pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih
dan memadai.
Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang
seakan-akan kebakaran jenggot dengan munculnya gejala kekeringan di
banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan
institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang
tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang
berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan,
serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak
lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang
perkembangan masalahnya sudah multidimensional.
Dengan desakan dan
pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia
dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak
tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber
Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis
prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup.
Saat ini RUU Sumber
Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah
melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro,
misalnya kebijakan mengenai irigasi, pembentukan sistem dan jaringan
data hidrologi nasional.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah
reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi
tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi
sektor ini?
Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya
cara pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar
barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.
Pandangan
tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh
siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons),
sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau
diperdagangkan guna keuntungan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma
tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern
yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi
pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya
investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih.
Perdebatan
antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus
berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa
air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas
negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi
dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan.
Penjelasan pasal
RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran
masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan
dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi
pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa
pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa
kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen,
kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.
Implikasi dari
dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air
dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu
menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk
memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal.
Prinsip
tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air,
terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin
kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan
terampas hak dasarnya atas air.
Dominannya paradigma air sebagai
komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk
memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air
yang efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi
perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari
upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa
reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang
lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau.
Reformasi
SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang
dapat menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70
% seperti pada metoda konvensional. Akan tetapi besarnya jadi
bervariasi sesuai dengan kondisi di lapangan dan air yang dibutuhkan
untuk sawah setelah teijadi infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil
perhitungannya Reff ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan curah
hujannya.
Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa
perhitungan kebutuhan air dengan metode keseimbangan air lebih efisien
dengan hasil yang lebih optimal bila dibandingkan dengan metode
konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan pada DI Leuwi Goong
mengingat kondisi alamnya yang mempunyai perbedaan tinggi curah hujan
yang sangat jauh antara musim bujan dan musim kemarau. Kebutuhan air
dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode
keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas
tanam yang dihasilkan dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada
metoda konvensional yaitu diperoleh intensitas tanam yang mempunyai luas
6771 ha yaitu 278,17 %, angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan
intensitas tanamnya dengan metoda konvensional dari luas 5271 ha yaitu
215 %. Karena perbedaan luasnya yang cukup tinggi mencapai 1500 ha
memungkinkan sekitar 20 areal irigasi tadah hujan menjadi areal irigasi
teknis.
B. Saran
Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil
mengenai pemilihan besar intensitas tanam agar kajian dilanjutkan, lebih
menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas tanam yang
lebih besar, ditinjau dari segi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Tesis Magister Program Studi Teknik Sipil Bidang Khusus Pengembangan Sumber Daya Air
Website : http://jamhuralhabib.bolgspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar